Stoic Parenting: Membalas Jasa Orang Tua

positive-par

Stoicism (biasa disingkat stoic) adalah sebuah kosakata baru dalam khazanah alam pikir saya. Pada dasarnya stoic adalah sebuah ajaran filsafat yang membagi sebuah kejadian ke dalam dua dikotomi kendali. Ribet? Kita ambil contoh. Ketika akan berangkat kantor dan sudah bersiap-siap, turunlah hujan dengan begitu derasnya. Umumnya reaksi kita adalah…marah/kesal karena belum menyiapkan jas hujan/payung. Namun kita yang paham dengan stoic akan berlaku…siapkan jas hujan/payung, dan kemudian berangkat. Sesederhana itu. Dalam hal ini yang bisa dikendalikan adalah tindakan dan pikiran kita, adapun hujan yang turun deras secara tiba-tiba tidak bisa kita kendalikan. Oleh karena itu tak perlulah kita pusingkan hal yang tidak bisa kendalikan. Dalam peristiwa ini terdapat dua (disebut) dikotomi kendali  (1) Hal yang bisa kita kendalikan, dan (2) hal yang tidak bisa dikendalikan. Untuk lebih jelasnya mengenai stoic bisa belajar dari buku “Filosofi Teras” karya Henry Manampiring. Mari kita sekarang belajar soal Parenting Stoic.

Ketika kita memiliki anak, kita sangat menjaganya sedari baru bayi bahkan tak jarang hingga dewasa pun orang tua masih akan menjaganya dengan segala kekhawatiran. Tak bisa dipungkiri bahwa orang tua akan tetap melihat anak sebagai anak tak berdaya. Bolehlah sejenak kita membaca syair dari Kahlil Gibran berjudul “Anakmu bukanlah milikmu”:

Anak adalah kehidupan,

Mereka sekedar lahir melaluimu tetapi bukan berasal Darimu.

Walaupun bersamamu tetapi bukan milikmu,

Curahkan kasih sayang tetapi bukan memaksakan Pikiranmu

karena mereka Dikaruniai pikiranya sendiri

 

Berikan rumah untuk raganya, tetapi tidak jiwanya,

Karena jiwanya milik masa mendatang

Yang tak bisa kau datangi

Bahkan dalam mimpi sekalipun

 

Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah

Menuntut mereka jadi seperti sepertimu.

Sebab kehidupan itu menuju kedepan, dan

Tidak tengelam di masa lampau.

 

Kaulah busur,

Dan anak – anakmulah anak panah yang meluncur.

Sang Pemanah Maha Tahu sasaran bidikan keabadian.

Dia menantangmu dengan kekuasaan-Nya,

hingga anak panah itu meleset,

jauh serta cepat.

 

Meliuklah dengan sukacita

Dalam rentangan Sang Pemanah,sebab Dia

Mengasihi anak- anak panah yang meleset laksana kilat,

Sebagimana pula dikasihiNya busur yang mantap

Membaca syair ini, saya merefleksi kepada diri sendiri terhadap sebuah bait “Bisa saja mereka mirip dirimu, tetapi jangan pernah menuntut mereka jadi sepertimu”. Sebagai orang tua kita akan memberi pendidikan terbaik, gizi terbaik, tempat tinggal terbaik, baju terbaik, dan segala hal terbaik lainnya untuk anak. Harapannya? Si anak akan menjadi insan terbaik dan tak jarang pula biasanya kita berharap si anak akan….balas jasa ke orang tua yang sudah memberikan terbaik. Jika orang tua mengharapkan balas jasa anak, maka kemungkinannya ada dua (eh tiga malah), (1) anak akan balas jasa dan orang tua happy (2) anak akan lempeng saja dan orang tua kecewa (3) anak akan lempeng saja dan orang tua akan menggerutu dan mengutuk.

Jika merujuk kepada aplikasi stoic, maka dikotominya sebagai berikut:

Anak tidak/belum membalas jasa orang tua (karena berbagai hal, mis sudah berkeluarga dan fokus kepada anak-anak yang masih kecil)
Reaksi Orang tua yang bisa dikendalikan Hal yang tidak bisa dikendalikan
1. Kecewa/marah/mengutuk durhaka

2. Memahami dengan logika

3. Lempeng, karena tugas orang tua memang
memberikan yang terbaik untuk anak

1. Anak membalas jasa

2. Anak tidak membalas jasa

3. Anak tidak tahu terima kasih dan marah
karena orang tua nyebut jasa

Anak memang lahir dari rahim ibu dan mendapat pendidikan dari ayah dan ibu. Adalah wajar jika kecewa dan sedih jika ternyata anak yang kita didik dengan baik justru berperilaku jauh panggang dari api. Pertama saya akan men-challenge “yakinkah ayah-ibu sudah memberikan yang terbaik? Atau justru hanya memaksakan diri ke anak untuk menjadi yang terbaik dan mengakibatkan anak tidak nyaman dan tidak berani speak up karena sifat otoritarian ayah-ibu?”

Jika kita sebagai orang tua sudah memberikan yang terbaik untuk anak, apakah kita bisa memaksa anak untuk membalas jasa kita? Apakah anak kita bisa dikendalikan hati, perasaan, dan tindakannya oleh kita selaku orang tua? Bukankah memberikan yang terbaik untuk anak memang hal yang sudah seharusnya dilakukan oleh orang tua yang baik? Dalam filosofi Stoic, manusia yang rasional adalah manusia yang melakukan 4 kebajikan ini: (1) Bijaksana (2) Adil (3) Mampu menahan diri (4) Berani. Sehingga jika kita sudah memberikan pendidikan terbaik, gizi terbaik, tempat tinggal terbaik, baju terbaik, maka itu berarti kita sudah menjadi orang tua yang rasional (dalm hal ini bijaksana dan adil) dan memang sudah selayaknya demikian. Menjadi irasional atau tidak masuk akal jika kemudian kita “menagih” kebaikan kepada anak. Contoh “Nak kamu kan sudah kerja nih, kamu dulu papa masukkan ke universitas negeri terbaik dan papa support kamu dengan buku kuliah impor, dan sekarang kamu sudah punya penghasilan. Bantu-bantu papa boleh lah sesekali”. Bagi saya perkataan seperti ini sebetulnya tidak ada salahnya jika si anak masih single. Lain halnya jika si anak sudah berkeluarga dan memiliki tanggungan istri-anak. Maka dengan berkata seperti itu sebetulnya kita sudah “mempersiapkan” anak kita menjadi sandwich generation, sebuah generasi yang menanggung kehidupan orang tuanya sekaligus juga harus menghidupi anak-istri. Sandwich generation inilah yang saat ini memenuhi struktur demografi Indonesia (berdasarkan survei BPS di 2017, jumlah penduduk dari usia 20-44 tahun sebesar 39% dari seluruh penduduk Indonesia) dan sangat rentan terhadap guncangan ekonomi. Well dengan demikian kita yang seharusnya mempersiapkan anak untuk menyongsong era ke depan yang sangat mudah berubah dan easily disrupt karena perkembangan teknologi, akhirnya malah turut membebani anak yang seharusnya sudah “mencukupkan diri” dengan kehidupan ekonomi yang stabil hanya dengan alasan “kamu kan dulu sudah disekolahkan dengan baik, sekolahnya mahal,dll”.

Pernyataan di atas bukan berarti saya tidak menyetujui tolong-menolong antarhubungan anak dan orang tua. Tolong-menolong adalah hal yang sangat baik, namun mengubah prinsip tolong-menolong yang didasari rasa ikhlas menjadi prinsip tagih-menagih utang maka hal itu terkesan sangat dipaksakan.

Sekali lagi bahwa memberikan pendidikan dan penghidupan yang baik memang menjadi tugas orang tua. Adapun reaksi dan akan menjadi apa si anak kelak, itu berada di luar kendali kita sebagai orang tua. Jika kita memahami prinsip ini dengan benar dan tepat, maka hidup sebagai orang tua akan tenang dan vice versa, anak pun akan menghormati dan menghargai kita sebagaimana kita memperlakukan mereka dengan baik.

Leave a comment